Oleh: Ismed A. Gafur, S.H., M.H.
Diskresi adalah kewenangan pejabat pemerintahan untuk mengambil keputusan atau tindakan dalam kondisi tertentu demi kepentingan umum, meskipun tidak secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 22–24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa diskresi dapat digunakan untuk:
1. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan.
2. Mengisi kekosongan hukum.
3. Memberikan kepastian hukum.
4. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu.
Dalam konteks pemerintahan desa, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (jo. UU Nomor 3 Tahun 2024) menegaskan kewenangan Bupati/Wali Kota untuk memberhentikan dan mengangkat kepala desa. Pasal 26 ayat (4) huruf a menyatakan bahwa kepala desa diberhentikan oleh Bupati/Wali Kota. Sementara Pasal 31–40 mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian. Teknisnya dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 jo. PP Nomor 47 Tahun 2015.
Artinya, Bupati memiliki peran sentral dalam memastikan keberlangsungan pemerintahan desa, baik melalui mekanisme formal maupun—dalam keadaan mendesak—melalui diskresi.
Diskresi: Antara Legalitas dan Tantangan
Dalam praktik, diskresi kerap dipakai untuk menunjuk Penjabat Kepala Desa ketika terjadi kekosongan jabatan, sengketa hasil pemilihan, atau masalah hukum yang menimpa kepala desa. Selama tujuannya jelas untuk kepentingan umum, langkah tersebut sah dan dibenarkan undang-undang.
Namun pengalaman di berbagai daerah menunjukkan diskresi Bupati tidak selalu mulus. Sudah ada sejumlah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang membatalkan SK Bupati terkait pengangkatan maupun pemberhentian kepala desa. Alasan pembatalan bervariasi: prosedur yang tidak dipenuhi, kewenangan yang dilampaui, hingga pertimbangan yang dianggap tidak adil. Ini menandakan setiap keputusan Bupati tetap dapat diuji secara normatif di pengadilan.
Sebagaimana ditegaskan dalam literatur hukum tata negara, diskresi memang sah, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan. Jika tidak, keputusan tersebut mudah dipolitisasi dan berpotensi dibatalkan PTUN.
Analisis Risiko Hukum di PTUN
1. Potensi Gugatan
Keputusan Bupati mengenai pengangkatan atau pemberhentian kepala desa adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagaimana Pasal 1 angka 9 UU Nomor 51 Tahun 2009. Karena bersifat individual, konkret, dan final, keputusan ini dapat digugat oleh:
Calon kepala desa yang kalah dalam pemilihan.
Kepala desa yang diberhentikan.
Masyarakat desa yang merasa haknya dilanggar.
2. Alasan Gugatan
Prosedur: Apakah mekanisme yang ditempuh sesuai UU Desa, PP 43/2014 jo. PP 47/2015, dan Permendagri terkait.
Kewenangan: Apakah diskresi masih dalam lingkup kewenangan Bupati atau justru melampauinya.
Substansi: Apakah keputusan memiliki pertimbangan hukum yang valid dan objektif, atau sarat kepentingan politik.
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB): Apakah asas kepastian hukum, kepentingan umum, keadilan, proporsionalitas, dan akuntabilitas—Pasal 10 UU Administrasi Pemerintahan—telah dipenuhi.
Jika pengadilan menilai diskresi tidak memenuhi syarat, SK dapat dibatalkan. Konsekuensinya:
Rehabilitasi Jabatan: Kepala desa yang diberhentikan dapat dipulihkan kedudukannya.
Kompensasi: Pejabat yang salah menggunakan diskresi dapat diminta ganti rugi.
Konflik Sosial: Keputusan yang tidak diterima bisa memicu ketegangan di tingkat desa.
Langkah Pencegahan
Agar diskresi tidak menimbulkan risiko hukum, Bupati perlu:
1. Menyusun pertimbangan hukum tertulis (legal opinion) sebelum mengeluarkan keputusan.
2. Tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang relevan.
3. Melibatkan inspektorat, bagian hukum, dinas pemberdayaan masyarakat dan desa (PMD), serta camat untuk memperkuat dasar keputusan.
4. Menerapkan transparansi kepada masyarakat desa guna mencegah kecurigaan politik.
5. Mengedepankan musyawarah dengan BPD dan tokoh masyarakat sebelum mengambil langkah diskresi.
Simpulan
Diskresi Bupati dalam pengangkatan atau pemberhentian kepala desa sah secara hukum sepanjang memenuhi syarat dalam UU Administrasi Pemerintahan dan didukung pertimbangan hukum yang jelas. Diskresi yang tepat menjadi alat menjaga stabilitas pemerintahan desa dan mewujudkan good governance.
Namun, bila digunakan tanpa dasar yang kuat, keputusan tersebut berisiko dibatalkan PTUN, menimbulkan konflik sosial, bahkan memunculkan tuntutan ganti rugi. Karena itu, kehati-hatian, akuntabilitas, dan keterbukaan adalah kunci agar diskresi tetap menjadi solusi bagi kemaslahatan masyarakat desa, bukan sumber masalah hukum maupun politik.