
Oleh: Ismed A. Gafur, S.H., M.H.
Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, terbentang luas dengan 30 kecamatan dan 249 desa yang menyimpan potensi luar biasa. Dari laut yang kaya hasil hingga tanah yang subur, dari tradisi yang mengakar kuat hingga semangat generasi muda yang terus tumbuh semuanya menggambarkan kekayaan yang dimiliki daerah ini. Namun, di balik kekayaan tersebut, tantangan besar masih membayangi: terbatasnya infrastruktur, rendahnya kualitas pendidikan, serta ketimpangan ekonomi antarwilayah.
Menariknya, secercah harapan mulai tumbuh dari desa-desa terpencil. Dalam beberapa tahun terakhir, mulai muncul inisiatif-inisiatif kreatif dari para kepala desa. Tak lagi sebatas pengelola urusan administrasi, mereka kini tampil sebagai motor penggerak perubahan.
Kepala Desa: Penggerak Inovasi dan Pendidikan
Kepala desa memiliki tanggung jawab besar: menciptakan inovasi, memberdayakan masyarakat, dan memajukan sektor pendidikan demi mencerdaskan generasi penerus. Peran ini semakin nyata sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi desa untuk mengelola urusannya sendiri, termasuk dalam berinovasi.
Kini, sejumlah kepala desa di Halmahera Selatan mulai menggagas pengembangan BUMDes sebagai mesin penggerak ekonomi lokal. Di pesisir Obi, misalnya, nelayan tidak lagi hanya menjual ikan mentah, melainkan mengolah hasil tangkapan menjadi produk siap jual. Di wilayah dataran tinggi Bacan, petani cengkih dilatih mengelola hasil pascapanen dan memasarkan produk secara daring. Artinya, inovasi telah menyentuh ranah teknologi meski secara sederhana.
Beberapa desa mulai menerapkan program “desa digital”. Akses internet dimanfaatkan untuk promosi produk unggulan, pengelolaan administrasi desa, bahkan komunikasi antarwarga di pulau-pulau berbeda. Meski tampak kecil, langkah ini membawa perubahan besar: desa tak lagi terisolasi dalam hal informasi.
Pemberdayaan: Masyarakat Menjadi Subyek
Pemberdayaan kini tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan karitatif semata. Pendekatan partisipatif menjadi kunci utama. Di wilayah Gane dan Makian Kayoa, kepala desa mulai melibatkan pemuda dan perempuan dalam musyawarah desa. Mereka tidak lagi hanya menjadi penonton, tetapi turut menentukan arah pembangunan.
Kelompok tani dan nelayan kini dibekali pelatihan manajemen produksi dan keuangan. Beberapa desa juga menggandeng tokoh adat, agama, masyarakat, bahkan diaspora desa di kota-kota besar untuk mendukung kemajuan desa. Pemberdayaan yang inklusif ini membangun rasa kepemilikan dan memperkuat solidaritas sosial masyarakat desa.
Pendidikan: Fondasi Masa Depan
Bidang pendidikan adalah persoalan paling mendesak. Di banyak desa, terutama wilayah Gane Raya, Kepulauan Obi, dan Makian Kayoa, akses pendidikan masih sangat terbatas. Anak-anak harus menempuh jarak jauh ke sekolah, tenaga pendidik terbatas, dan fasilitas belajar jauh dari memadai.
Namun, di tengah keterbatasan itu, sejumlah kepala desa mengambil inisiatif. Dana Desa dialokasikan untuk menggaji guru honorer, mendirikan PAUD berbasis swadaya, hingga membangun rumah belajar di balai desa. Di Kecamatan Bacan Selatan, seorang kepala desa bahkan berkolaborasi dengan mahasiswa KKN untuk menyelenggarakan les gratis dan pelatihan literasi digital bagi siswa dan orang tua.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa kemajuan pendidikan tidak harus menunggu intervensi dari pemerintah pusat maupun daerah. Justru dari desa, perubahan dapat dimulai sesuai dengan konteks dan potensi yang dimiliki.
Tantangan Nyata: Kapasitas, Pendamping, dan Transparansi
Meski demikian, tidak semua desa mengalami perkembangan serupa. Banyak kepala desa masih kesulitan menyusun perencanaan berbasis data. Pendamping desa pun tidak selalu memiliki kapasitas memadai dalam mendukung proses inovasi. Sementara itu, sorotan publik terhadap transparansi Dana Desa kian tajam. Hal ini menuntut kepala desa untuk bekerja secara profesional, akuntabel, dan terbuka dalam pengelolaan keuangan maupun pelayanan publik.
Kendala lainnya adalah minimnya sinergi lintas sektor. Belum semua desa mendapat perhatian serius dari pemerintah kabupaten, perguruan tinggi, atau lembaga swadaya masyarakat. Padahal, dukungan dari aktor eksternal sangat penting untuk memperkuat upaya inovatif yang lahir dari desa.
Harapan: Kepala Desa sebagai Arsitek Perubahan
Di tengah keterbatasan, satu hal menjadi terang: kepala desa adalah agen perubahan nyata. Mereka bukan lagi sekadar pelayan birokrasi, tetapi pemimpin lokal yang mampu menggerakkan masyarakat, menyalakan semangat, dan membangun masa depan yang lebih baik.
Dengan pelatihan yang tepat, dukungan kebijakan, serta pendampingan berkelanjutan, para kepala desa di Halmahera Selatan berpeluang menciptakan perubahan luar biasa. Jika seluruh desa bergerak bersama secara berkelanjutan, bukan tidak mungkin Halmahera Selatan menjadi model nasional dalam inovasi pembangunan desa berbasis lokal.
Sebab pada akhirnya, membangun desa adalah membangun Indonesia dari akar. Dari tangan para kepala desa, akar itu bisa tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan rindang bagi seluruh masyarakatnya.
Penutup: Desa sebagai Subyek, Bukan Obyek
Tentu saja, semua ini belum sepenuhnya ideal. Masih banyak desa yang belum tersentuh inovasi pendidikan dan pemberdayaan secara signifikan. Tidak sedikit pula kepala desa yang masih gagap menghadapi perubahan, terjebak dalam praktik birokrasi konvensional. Masalah kapasitas aparatur, pendampingan profesional, dan transparansi masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Namun, itu bukan alasan untuk menyerah. Justru di sinilah pentingnya sinergi antar-pihak: pemerintah daerah, perguruan tinggi, LSM, dan media massa, untuk menjadikan desa sebagai laboratorium inovasi sosial dan pendidikan.
Penulis meyakini, harapan baru dari desa dapat memberikan kontribusi dan gagasan konkret bahwa kepala desa hari ini adalah ujung tombak perubahan. Mereka bukan lagi “lurah kecil”, tetapi arsitek sosial dan agen transformasi lokal. Bila diberi ruang motivasi, pelatihan, dan dukungan yang tepat, kepala desa mampu menciptakan perubahan nyata di akar rumput.
Intinya, desa bukan lagi menjadi objek pembangunan, tetapi menjadi subjek utama yang memegang kunci masa depan bangsa. Halmahera Selatan, dengan segala kekayaan budaya dan potensinya, memiliki peluang besar menjadi pelopor. Karena dari desa dari para kepala desa lah perubahan itu akan berakar dan harapan itu akan tumbuh.