Oleh : Ismed A. Gafur, SH.,MH
Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya negara ini sebagai momentum bersejarah yang menandai awal mula perjalanan panjang menuju kedaulatan rakyat. Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 bukan sekadar deklarasi politik untuk kemerdekaan semata, melainkan suatu manifestasi tekad bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan membangun kehidupan yang bebas, adil, serta bermartabat.
Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan adalah anugerah sekaligus hasil perjuangan secara kolektif. Jutaan rakyat berkorban dengan darah, air mata, bahkan nyawa demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Oleh karena itu, memperingati Hari Kemerdekaan bukan sekadar seremoni pengibaran bendera atau upacara formal maupun semarak perlombaan, melainkan juga sebuah ajakan untuk merenungkan kembali nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri bangsa Indonesia.
Meski proklamasi telah dikumandangkan lebih dari tujuh dekade lalu (79 Tahun), tantangan bangsa tidak serta-merta berakhir. Jika dahulu musuh yang dihadapi adalah kolonialisme, maka saat ini ancaman datang dalam bentuk yang lebih kompleks seperti kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, degradasi moral, hingga ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati belum sepenuhnya kita wujudkan dalam realitas kekinian.
Sesungguhnya Kemerdekaan itu bukan hanya soal bebas dari penjajahan negara lain (asing), tetapi juga kemampuan bangsa dan negara untuk berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, serta berkepribadian dalam kebudayaan, sebagaimana diamanatkan oleh Trisakti Bung Karno. Tanpa itu, perayaan 17 Agustus hanya akan menjadi rutinitas simbolik yang kehilangan makna substansial.
Generasi muda sebagai penerus perjuangan memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan karya nyata. Di tengah arus globalisasi dan disrupsi teknologi, nasionalisme harus dimaknai secara kontekstual bukan hanya tekstual belaka, bahkan tidak hanya dengan cinta tanah air, tetapi juga melalui partisipasi aktif dalam pembangunan, inovasi, kreatifitas serta menjaga persatuan dalam keberagaman yang pluralis.
Di era digitalisasi ini, semangat kemerdekaan dapat diwujudkan dengan melawan penjajahan gaya baru, seperti ketergantungan pada produk asing, penetrasi budaya global yang mengikis identitas nasional, serta penyebaran hoaks yang mengancam persatuan bangsa. Kemerdekaan harus dihidupi dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dikenang dalam buku sejarah dan simbolisasi perayaan.
Hari Kemerdekaan juga menjadi momentum untuk memperkuat persatuan nasional. Indonesia yang begitu pluralistik dengan ratusan suku, bahasa, dan budaya membutuhkan komitmen kuat agar semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya menjadi slogan, melainkan benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah telah mengajarkan kita bahwa persatuan adalah modal utama yang memungkinkan bangsa ini meraih kemerdekaan. Maka, menjaga persatuan dalam bingkai Pancasila adalah syarat mutlak agar Indonesia tetap tegak berdiri di tengah dinamika global yang begitu derasnya.
Hari Kemerdekaan 17 Agustus bukan sekadar semarak dan pesta rakyat, melainkan ajakan untuk melakukan refleksi, evaluasi, dan pembaruan tekad tentang perjuangan kebangsaan. Kemerdekaan harus diisi dengan kerja keras, inovasi, dan keberanian menghadapi tantangan baru.
Seperti kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kalimat ini mengingatkan kita bahwa menjaga kemerdekaan jauh lebih sulit daripada merebutnya.
Oleh karena itu, setiap 17 Agustus hendaknya menjadi pengingat bagi kita bahwa tugas dan tanggung jawab kita bukan hanya sekedar merayakan, melainkan memastikan bahwa kemerdekaan benar-benar menghadirkan keadilan, kepastian hukum, kesejahteraan, dan martabat bagi seluruh rakyat Indonesia.